Surat
Dari Ibu
Ini
kisahku yang pasti sulit untuk aku melupakannya. Kisah yang sangat aku sesali
mengapa harus terjadi kepada diriku. Aku tidak mengerti setan apa yang merasuk
pada diriku ini, mengapa aku begitu hinanya seperti binatang, bahkan binatang
sekalipun tidak sehina diriku. Tetapi apa dayaku untuk memperbaiki semua ini,
karena semuanya sudah terjadi begitu cepat dan mengiris hati.
Kisah ini berawal ketika aku masih
duduk di bangku sekolah dasar. Namaku Ardi, kala itu usiaku baru menginjak
dua belas tahun, usia anak kelas enam sekolah dasar. Aku adalah anak yang cukup
pendiam, namun pintar. Seperti kata peribahasa “Air tenang menghanyutkan”,
walaupun aku diam tapi aku banyak mengukir prestasi baik di sekolah maupun luar
sekolah. Karena itulah kamarku penuh diisi oleh piala, medali dan beragam
penghargaan dari berbagai acara lomba yang sering aku ikuti. Karena banyaknya
prestasi yang aku miliki itulah mengapa aku jadi anak kebanggaan ibuku. Aku
selalu dipuja dan dipuji olehnya. Namun, walaupun pujian sering datang dari
mulut ibuku, aku bahkan tidak sedikitpun merasa bangga kepada ibuku. Karena
berbeda seratus delapan puluh derajat dengan prestasi yang aku raih di dunia
pendidikan. Akibat aku memiliki ibu yang tidak sempurna aku jadi sering
mendapatkan ejekan dan hinaan dari
teman-temanku. “ha ha ha… anak tukang pijat buta lewat, awas kasih jalan nanti
dia malah nabrak tembok lagi gara-gara kebawa buta sama kaya ibunya”. Kata
mereka teman-temanku jika aku lewat di depan mereka.
Ya, memang ibuku adalah penyandang
cacat, ia tidak bisa mlihat dan yang membuat aku kesal lagi mengapa dia harus menjadi tukang pijat,
suatu pekerjaan yang sanat hina karena harus menyentuh tubuh orang lain yang
mungkin tidak jarang dari mereka yang memiliki penyakit kulit dan bau.
Aku tinggal hanya dengan ibuku sejak dua tahun yang lalu, setelah meninggalnya
ayahku akibat penyakit lever yang sudah lama dideritanya itu. Maka dari itu
hanya dari penghasilan ibukulah aku bisa bersekolah dan menyambung hidup, bahkan aku pernah
menjual beberapa piala dan mendaliku ketika aku mau mengikuti ujian di sekolah
karena ibu tidak punya uang untuk membayarnya. Karena kejadian itulah aku menjadi semakin membenci ibuku. Karena
menurutku hanya akulah yang berjuang untuk sekolahku, sedangkan ibu tidak
peduli.
Semakin hari semakin sering ejekan
dan hinaan dari temanku yang ditujukan kepadaku. Hingga pada suatu hari
setelah aku pulang dari sekolah dan sesampainya dirumah aku tidak mengucapkan
salam kepada ibuku, dan langsung menuju kamar dan lekas aku kunci kamarku untuk
meredam kemarahanku. Ibu yang memang sifatnya perhatian kepadaku merasa aneh
dengan sikapku ini dan lekas mendatangiku yang sedang di kamar sambil membawa
makanan untuk makan siangku. “Nak, kenapa kamu tadi pulang tidak mengucapkan
salam ? ada apa denganmu Ardi.” Aku yang tadinya ingin meredam kemarahanku ini,
setelah mendengar suara ibuku yang memang karenanyalah aku diejek dan dihina
setiap hari langsung aku membuka pintu dan gemprang… Hancurlah sudah piring
yang ibuku bawa itu aku tepak, “Ibu, mau apa ibu menemuiku, ibu tahu tidak,
akibat ibu yang buta dan menjadi tukang pijat itu aku sering dapat ejekan dan
hinaan dari teman-temanku. Aku benci ibu, sana ibu keluar dari kamarku”,
bentakku kepada ibu. Setelah kejadian itu, aku sering mendapati ibuku sedang
melamun seperti orang yang sedang menahan tangisnya, namun aku tidak peduli toh
ibulah yang menjadi sumber hinaku. Hari demi hari, bula demi bulan dan tahun
demi tahun berlalu hingga aku lulus sekolah menengah kejuruan dan bekerja di
luar kota. Sebenarnya tidak sedikit tawaran pekerjaan yang aku terima di kotaku
sendiri, namun aku lebih memilih untuk bekerja di luar kota agar aku bisa
keluar dari rumahku yang kecil dan agar aku bisa berpisah dari pusat
kehinaanku, yang tidak bukan dan tidak lain adalah ibuku sendiri. Di duniaku
yang baru ini aku benar-benar merasakan bahwa inilah yang namanya kehidupan
yang aku idam-idamkan semasa aku masih terkurung dalam sebuah gubuk kecil dulu.
Sekarang uang mengalir begitu banyaknya ke dompetku dan yang terpenting adalah
aku bahagia karena aku tidak menjadi olok-olokan temanku lagi.
Lima
tahun berlalu setelah perginya aku dari rumah dan memilih untuk menjalani hidup
yang baru. Timbullah sebuah rasa yang cukup wajar dirasakan bagi semua anak,
aku rindu kepada ibuku, aku merindukan perhatiannya yang berlebih itu kepadaku.
Aku pun berniat untuk pulang menemui ibuku di kampung minggu depan pada saat
libur akhir pekan. Sewaktu aku pulang dari kantor aku melihat sekumpulan orang
yang sedang berkumpul menggerumungi seorang anak perempuan. Karena merasa
penasaran, aku turun dari mobil dan mulai berjalan mendekati gerumungan
orang-orang tersebut dan benar aku melihat ada seorang anak perempuan, dia
sedang menangis karena wanita tua yang sepertinya adalah ibunya sedang
tergeletak lemas tak bernyawa. Melihat kejadian itu, aku langsung teringat pada
ibuku di kampung. Niatku yang tadinya akan pulang minggu depan, aku menjadi
tidak mau membuang waktu lagi dan aku lekas bergegas naik ke mobil dan langsung
aku tancap gas menuju kediaman wanita tua yang sudah lama aku telantarkan,
ibuku. Aku tidak mau samapai menyesal karena tidak sempat meminta maaf kepada
ibuku atas semua kesalahan yang telah aku perbuat dimasa yang lalu. Dengan
perasaan ridak tenang dan tidak sabar ingin memeluk kembali sesosok agung yang
telah melahirkanku ke dunia ini aku meneteskan air mata rindu yang sudah lama
tidak menetes lagi. Sempat terlintas dalam pikiranku bahwa kejadian terburuk
yang tidak ingin aku alami akan menimpa ibuku, apakah ini firasat seorang anak
kepada ibunya atau hanya kekhawatiranku saja yang tercampur dengan rasa rindu
dan bersalah. Namun, aku hapuskan perasaan buruk itu karena aku tidak ingin
kejadiaan itu benar-benar terjadi. Dua jam perjalanan berlalu hingga tibalah
aku di depan gang rumahku yang dulu. Aku langsung turun dan berlari untuk
menemui ibuku agar bisa memeluknya, namun aku tercengang ketika aku turun dari mobil
ku lihat orang-orang sedang berkumpul di halaman rumahku dan selembar bendera
berwarna kuning tengah terpasang di depan pagar rumahku. Aku merasa heran dan
takut, jantungku berdebar kencang, darahku memanas, keringatku bercucuran
deras, aku takut apa yang aku resahkan dan firasat burukku tadi benar terjadi.
Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke rumahku, ku buka pintu yang kumuh itu
dan disana di ruang tamu aku temukan banyak orang yang sedang berkumpul sambil
duduk sila dengan lantunan bacaan surah yaasin. Aku melangkah ragu, dengan
berat hati aku beranikan diri untuk maju menuju kumpulan orang itu dan kulihat
ada orang yang sedang terbaring dengan ditutupi kain kaftan di tengah-tengah
kumpulan orang tadi. Aku dengan perasaan tidak bisa percaya dengan apa yang
terjadi, apakah itu benar ibuku yang sudah tak bernyawa lagi sampai di samping
orang berbalut kain kaftan itu, aku lekas membuka penutup wajah yang menutupi
mukanya itu untuk memastikan siapakah orang ini. Ternyata benar dia adalah
ibuku, wanita mulia yang sudah menjadikan aku ada di dunia ini yang sering aku
hina dulu. Maka menetes deraslah air mataku ini dengan tidak tertahan lagi
karena yang sejak tadi aku menahannya. “Ibu, apakah ini benar ibu ? Ini bukan
ibu kan, ibu pasti Cuma pura-pura kan untuk member kejutan kepadaku ? Jawab bu.
Kenapa ibu tidak mau menjawab. Aku sudah pulang bu, aku sekarang sudah menjadi
orang yang sukses bu sesuai doa ibu. Aku akan menaik hajikan ibu seperti janji
besarku dulu waktu aku kecil. Ibu, ibu.. Maafkan aku ibu, aku sudah menyakitu
hati ibudan meninggalkan ibu sendiri disini bersama kekurangan ibu. Aku, aku
sayang ibu. Ibu, bangun bu. Aku akan membawa ibu bersamaku ke kota. Ibu jangan
tinggalkan aku”. “Sudah Ardi, kamu harus merelakan kepergian ibumu, ini sudah
jalannya Ilahi, karena hanya orang pilihan-Nya yang akan dipanggil lebih awal.
Kamu harus percaya kalau ibumu akan bahagia disana, dia juga pasti selalu
menyayangimu”, bu Ani mencoba menenangkanku yang sedang kacau ini.
Esok
paginya ibu langsung diantarkan ke pembaringan terakhirnya mungkin bersama
kekecewaannya kepadaku anak yang sering menyakitkan hatinya dan sudah
menelantarkannya. Selesai proses pemakaman, aku melanjutkan tangisku di samping
makam ibuku sambil mendoakannya dan menyesali semua perbuatan jahat yang telah
aku lakukan kepada ibuku. Merasa kelelahan aku lekas pulang ke rumah ibu dan
aku mulai menyusuri setiap sudut rumah kecil itu untuk mengingat masa-masa suka
dukaku ketika masih bersama ibu. Aku masuk ke kamar ibu untuk sekali lagi memastikan
mungkin saja ini hanya mimpi, tapi akhirnya aku harus merelakan hatiku bahwa
ini semua adalah sebuah kenyataan pahit dan aku harus menerimanya dengan segala
perasaan bersalah ini. Kemudian aku masuk ke kamarku, dan lagi-lagi aku
teringat masa-masa ketika aku bertindak kasar kepada ibuku, dan masih terngiang
di pikiranku ketika aku menepak piring itu di depan pintu kamarku. Aku duduk di
ranjangku dulu yang sampai sekarang masih terawatt rapi. Rupanya ibu selalu
merapikan kamarku walaupun aku tidak ada disini. Aku melirik ke arah meja
belajarku dulu, aku melihat ada sepucuk surat. Aku meraihnya dan kulihat
ternyata itu surat dari ibu yang tijukan kepadaku. Kubuka surat itu dan begini
isinya, “Nak, bagaimana kabarmu ? Ibu
selalu berdoa disini untuk kebaikanmu, semoga kamu bisa menjadi orang yang
sukses. Ibu meminta bantuan ibu Ani untuk menuliskan surat ini untukmu, karena
kau tahu sendiri kan ibumu ini tidak bisa melihat. Nak, kalau kamu membaca
surat ini mungkin saat itu pula ibu sudah tidak bisa bertemu denganmu lagi dan
saat itu pula pasti kamu sudah menjadi orang besar ya nak. Ibu rasa sudah
saatnya kamu mengetahui semuanya. Kamu ingat tidak, sewaktu kamu kecil ketika
umurmu baru menginjak lima tahun kamu pernah mengalami kecelakaan dan matamu
rusak sehingga kamu divonis oleh dokter tidak bisa melihat lagi. Namun dokter
mengatakan kepada ibu bahwa ada satu cara untuk membuat kamu bisa melihat lagi,
yaitu dengan mencarikan donor mata untukmu namun persediaan donor mata di rumah
sakit sudah habis. Maka dari itu Ibu mencarinya kesana kemari namun tak juga
ibu temukan donor mata untukmu. Namun karena ibu tidak mau melihat kamu sedih
karena tidak bisa melihat keindahan dunia dan masa depanmu hancur, ibu akhirnya
memutuskan untuk menyumbangkan kedua mata ibu ini untukmu,dengan begitu kamu
menjadi bisa kembali melihat dunia yang indah ini, sebab ibu sudah cukup puas sampai usia ibu
sekarang ibu sudah bisa melihat keindahan dunia. Karena keindahan sesungguhnya
yang ibu rasakan adalah bisa melihat kamu nak, malaikat kecil ibu yang sangat
ibu cintai . Ibu merasa senang sekali nak ketika ibu mendengar kamu mendapatkan
banyak prestasi di sekolahmu, ibu bahagia sekali walaupun seorang anak tukang
pijat buta tapi kamu bisa mendulang prestasi dan menjadi anak yang pintar.
Terima kasih untuk semuanya ya nak, ibu bangga mempunyai anak sepertimu.”
Setelah membaca surat
itu, aku termenung dan menangis. Ibu yang dulu sering aku hina dan tidak pernah
aku harapkan menjadi anaknya ternyata dialah sosok agung yang hanya saja terbalut
dengan segala kekurangannya, yang telah mengorbankan segalanya untuk kebaikanku
anaknya sampai dia rela memberikan kedua matanya untukku. Padahal aku kesal
mengapa aku harus mempunyai ibu yang buta, tetapi ternyata dia rela buta hanya
supaya aku tetap bisa melihat. Aku yang dianugerahkan ibu semulia beliau
bukannya bersyukur dan berterima kasih kepadanya, yang aku lakukan adalah
kebalikannya yaitu aku membencinya.